TINJAUAN UMUM PERKEMBANGAN PERISTILAHAN ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
Mukriara – Ilmu pengetahuan perundang-undangan (gesetzgebungswissenschaft) atau science of legislation (wetgevingswetenschap) merupakan ilmu interdisipliner yang mempelajari tentang pembentukan peraturan negara.3 Tokoh-tokoh utama yang mencetuskan bidang ilmu ini antara lain adalah Peter Noll (1973) dengan istilah gesetzgebungslehre, Jurgen Rodig (1975) dengan istilah wetgevingsleer atau Wetgevingskunde, dan W.G. van Der Velden (1988) dengan istilah wetgevingstheorie, sedangkan di Indonesia diajukan oleh Hamid S. Attamimi (bapak ilmu perundang-undangan Indonesia) (1975) dengan istilah ilmu pengetahuan perundang-undangan.4 Ilmu tersebut melahirkan istilah perundang- undangan yang sekarang banyak digunakan dalam ilmu hukum.
Di Indonesia, dalam berbagai literatur banyak dikenal berbagai istilah seperti perundangan, perundang-undangan, peraturan perundang-undangan, dan peraturan negara. Dalam Belanda biasa dikenal istilah wet, wetgeving, wettelijke regels, atau wettelijke regeling(en). Istilah perundang-undangan berasal dari istilah wettelijke regels. Berbeda dengan istilah peraturan negara yang merupakan terjemahan dari staatsregeling, istilah staats berarti negara, dan regeling adalah peraturan. Istilah ‘perundangan’ berasal dari kata ‘undang’, bukan berasal dari kata ‘undang-undang’. Kata ‘undang’ tidak memiliki konotasi dengan pengertian ‘wet’ atau ‘undang-undang’, karena istilah ‘undang’ mempunyai arti tersendiri. Adapun yang dimaksud dengan peraturan negara adalah peraturan-peraturan tertulis yang diterbitkan oleh instansi resmi baik dalam pengertian lembaga atau Pejabat tertentu, sedangkan yang dimaksud dengan peraturan perundangan adalah peraturan mengenai tata cara pembuatan peraturan negara.5
3. Pendapat tersebut dinyatakan oleh Burkhardt Krems, seorang profesor ilmu perundang-undangan yang berasal dari Jerman. Burkhardt Krems juga membagi ilmu perundang-undangan menjadi 2 (dua) cabang yang lebih terspesialisasi: 1). teori perundang-undangan, 2). ilmu perundang-undangan.
4. Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hlm. 1-6.
5. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-Undangan, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1989, hlm. 1-2.
Di sisi lain, perundang-undangan sering diartikan sebagai wetgeving, yaitu pengertian membentuk undang-undang dan keseluruhan daripada undang-undang negara.6 Definisi ini juga diperkuat oleh H. Soehino yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan memiliki makna sebagai pertama, proses atau tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan negara dari jenis dan tingkat tertinggi yaitu undang-undang sampai yang terendah, yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi dari kekuasaan perundang-undangan; kedua, keseluruhan produk peraturan- peraturan perundangan tersebut. Namun sebenarnya, Soehino lebih sering menggunakan istilah ‘peraturan perundangan’.7 Bersamaan dengan Soehino, Amiroeddien Syarief juga menggunakan istilah yang sama dengan alasan bahwa istilah itu lebih pendek dan oleh karenanya sangat ekonomis.8 Istilah tersebut pernah digunakan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 sebagaimana tercantum pada judul ketetapan tersebut yaitu Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Selain itu, beberapa Ketetapan MPR RI yang menggunakan istilah ‘peraturan perundang-undangan’ adalah sebagai berikut.9
6. S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1985, hlm. 802.
7. Soehino, Hukum Tata Negara: Teknik Perundang-Undangan, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1981, hlm. 1.
8. Amiroeddin Syarief, Perundang-Undangan: Dasar, Jenis, dan Teknis Membuatnya, Jakarta: Penerbit Bina Aksara, 1987, hlm. 4-5.
9. Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Ilmu Perundang-Undangan, Bandung: Pustaka Setia, 2012, hlm. 21.
- Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1993 tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam program pembangunan hukum menyebutkan “upaya penggantian peraturan perundang-undangan yang bersumber pada Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945”.
- Reformasi MPR-RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Hukum Negara, pada huruf C Bidang Hukum yang menyebutkan, “Pembangunan hukum khusus yang menyangkut peraturan perundang-undangan organik tentang pembatasan kekuasaan Presiden belum memadai. Oleh karena itu, perlu pengkajian terhadap fungsi lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
- Ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004, antara lain
- pasal 3 menyebutkan, “dengan adanya ketetapan ini, materi yang belum tertampung dalam dan tidak bertentangan dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004 ini, dapat diatur dalam peraturan perundang- undangan”;
- dalam arah kebijakan bidang hukum, Pasal 7 menyebutkan, “mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.
Istilah ini juga digunakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) 1945 setelah perubahan, yaitu10
- dalam pasal 24A ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang- undangan di bahwa undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang;
- pasal 28I ayat (5) UUD NRI1945 menyebutkan untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan;
- pasal I Aturan Peralihan UUD NRI 1945 menyebutkan “segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Istilah tersebut juga pernah digunakan dalam Konstitusi RIS 1949 sebagaimana dimuat dalam Pasal 51 ayat (3) dengan rumusan ‘perundang-undangan federal’ dan dalam UUD Sementara 1950 sebagaimana dimuat dalam Bagian II dengan judul ‘perundang- undangan’ dan dalam Pasal 89 yang menyebut ‘kekuasaan perundang-undangan’.11
10. Ibid.
11. H. Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indoneisa, Bandung: PT. Mandar Maju, 1998, hlm. 17.


